Ki Hajar Dewantara adalah tokoh nasional dengan kapasitas internasional yang memiliki nama asli Soewardi Soeryaningrat. Banyak gagasan pendidikan beliau yang setara dengan gagasan pendidikan ahli-ahli Barat antara lain ketika Ki Hajar Dewantara berbicara tentang potensi anak didik (teori paedagogis). Dalam buku “Bagian Pertama; Pendidikan”, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa:
... pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnja anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu....
Para pakar pendidikan maupun pendidik profesional pada umumnya menganut teori padegogis. Titik tolak dari teori ini, ialah anak yang akan dibesarkan menjadi manusia dewasa. Hal ini hampir sama dengan teori nativisme yang dikemukakan oleh Schopenhauer yang beranggapan bahwa anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan yang dilahirkan dan tinggal dikembangkan saja, dan bersebrangan dengan teori tabularasa atau empirisme John Locke yang mengatakan bahwa anak dilahirkan seperti kertas putih yang akan diisi oleh pendidik dan tidak mempersoalkan faktor hereditas dari anak.66 Senada dengan locke, J.J. Rousseau menyatakan setiap anak yang terlahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembaik itu aka rusak karena pengaruh lingkungan. Demikian pula dengan pandanganpandangan kreativitas anak seperti yang dikemukakan oleh Maria Montessori dan berbagai pakar pendidikan lainya yang mengagungkan dan menghormati hakikat anak. Dalam hal ini apa yang telah dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagaimana diatas menunjukkan bahwa pendidikan adalah penuntun kodrat anak Pendidikan sebagai penunutun dapat dipahami bahwa pendidik tidak dapat merubah potensi dasar yang ada pada anak, akan tetapi pendidik hanya dapat membantu menyingkirkan penghalang-penghalangnya dan mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak.
Awalnya saya mengatakan bahwa siswa itu seperti kertas kosong dimana guru bebas memberikan ilmu pengetahuan sesuai pemahaman John Locke lewat tabularasa. Guru sebagai transfer of knowledge semata, guru memiliki peran dominan didalam kelas dengan mengabaikan potensi anak, kemampuan pedagogik semata menjadi tumpuan guru dalam melakukan penilaian. Disamping itu saya hanya melakukan pembelajaran di dalam kelas dimana pandangan saya sebelumnya hanya pelajaran Olahraga duluar kelas. Perhatian terhadap bakat dan minat anakpun dalam mengajar tidak menjadi perhatian sehingga anak anak belajar dengan keterpaksaan semata dengan mengejar nilai dengan pendekatan tertentu antara guru dan siswa, Anak yang saya didik ini tidak memiliki rasa ceria, senang, maupun gembira yang menjadikan sekolah seperti bukan rumahnya.
Perubahan mulai terasa lewat pemahaman secara mendalam tentang Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Faktanya, anak tidak boleh diperlakukan seperti Kera yang di kurung di hutan buatan ditengah kota seperti film Rise of the planet of the Apes di tahun 2011. Pemikiran-pemikiran beliau mencerahkan pemahaman yang selama ini saya yakini. Namun, anak harus diperlakukan seolah-olah seperti Kera yang bisa hidup di hutan dikelilingi pepohonan tinggi nan lebat sebagai tempat bermainnya. Bukan hanya manusia, tetapi hewanpun perlu mendapatkan kemerdekaannya. Referensi bisa ditemukan lewat browsing internet dan sumber ebook atau artikel menjadikan siswa merdeka dalam belajar. Anak ibarat kertas buram yang sudah terisi. Isinya adalah kodrat anak. Tugas kita sebagai guru adalah menuntun dan merawat anak sesuai dengan kodratnya. Pendidikan bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan, tapi harus dapat membuat anak memahami dunianya dan dapat memanfaatkan pemahaman tersebut untuk kebahagiaan hidupnya. Guru dengan ikhlas hati menghamba kepada peserta didik. Pembelajaran tidak terbatas di ruang-ruang kelas, terhalang tembok, terkurung dalam suatu ruangan. Pembelajaran bisa dilakukan dimanapun sesuai dengan konteksnya. Belajar bisa dimana saja dan kapan saja. Keluarga, masyarakat, lingkungan alam adalah sekolah. Sebagai guru kita merancang Pendidikan yang disesuaikan dengan bakat dan minat anak apalagi paksaan sebisa mungkin dihindari hadir dalam kelas, belajar mesti diyakinkan kepada peserta didik bahwa kita punya tujuan yaitu mendukung kehidupan masa akan datang dimana ilmu hadir sebagai jawabah dari persoalan dan menyelesaikan masalah sehingga keceriaan dan kebahagiaan akan muncul dalam kelas dengan memahami anak secara kognitif dan non kognitif tentunya dengan kreatifitas guru yang tinggi. Semangat Asah, Asih, dan Asuh yang tertular dari taman siswa ke Pendidikan nasional dimana Asah berarti dengan gigih dan usaha yang giat, Asih berarti penuh kasih saying, dan Asuh berarti membimbing anak dengan ikhlas dan sepenuh hati.
Ki Hadjar Dewantara menggunakan metode “Among” yaitu “Tutwuri Handayani”. (“Among” berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita), dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut kemampuannya. “Tutwuri Handayani” berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kebebasan dan keleluasaan bergerak yang dipimpinnya. Tetapi ia adalah “handayani”, mempengaruhi dengan daya kekuatannya dengan pengaruh dan wibawanya. Metode Among merupakan metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan. Metode among menempatkan anak didik sebagai subyek dan sebagai obyek sekaligus dalam proses pendidikan. Metode among mengandung pengertian bahwa seorang pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya. Pamong tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani.
Ki Priyo Dwiarso, Sistem Among Mendidik Sikap Merdeka Lahir dan Batin, (www.tamansiswa.org, akses 27 Juni 2021, 08.00)
Ki Hadjar Dewantara mengatakan, alam keluarga adalah suatu tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan social juga, sehingga dapat dikatakan, bahwa kelurga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya dari pusat pendidikan lain-lainya, untuk melangsungkan pendidikan kearah kecerdasan budi pekerti (pembentukan wataj individual) dan sebagai persediaan hidup kemasyaraktan. 15 Lingkungan keluarga sangat berpengaruh pada anak, baik terhadap pembentukan aspek kepribadianya maupun pembentukanya kesadaran anak.Untuk menguatkan argument pendapatnya Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya pendidikan dalam keluarga, hasil penelitian statistic dari Stedalijke Kinder Politie di Rotterdam yang menyatakan bahwa dari 778 (tuju ratus tuju puluh delapan). Keluarga yang anggotanya terlibat dalam perkara criminal, hanya 184 (seratus delapan puluh empat) keluarga atau seper empat dari jumlah tersebut yang boleh dibilang hidup normal, artinya yaitu tidak kurang dari seperempatnya ¾ dari jumlah kejahatan-kejahatan itu dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup dalam keruskan moral. Decroly, seorang ahli pendidikan yang termasuk dalam zaman sekarang, menetapkan bahwa 70% dari anak-anak yang jatuh kedalam jurang kejahatan itu berasal dari keluarga yang rusak kehidupanya.(dikutip dari buku “Pendidikan Keluarga” menurut Ki Hajar Dewantara, Dr. H. Mgs. Nazarudin, MM)
Beberapa hal yang bisa saya terapkan, agar kelas saya mencerminkan pemikiran Ki Hajar Dewantara, diantaranya: Pembelajaran berpusat pada peserta didik, kelas dilakukan dalam ruangan dan luar ruangan, pembelajaran sesuai bakat, minat, dan potensi peserta didik, Pembelajaran yang mengikuti perkembangan zaman dengan tekhnologi dan menyenangkan, menghadirkan pelajar profil Pancasila pada diri peserta didik (berakhlak mulia, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, kreatif, dan bernalar kritis), membimbing dan mendampingi anak dengan penuh keikhlasan dan kasih saying, Pendidikan keluarga sebagai modal anak di sekolah.
Rahmat Ahmad (disampaikan dalam Pendidikan Calon Guru Penggerak Angkatan 3 Kab. Sidrap)